sometimes, love isn't enough (bagian 1)

at first, I call it love 

mari menyerah pada segala ketidakmungkinan takdir yang ada.


Ada banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi dengan hidup kita di dunia ini. Beberapa orang bilang bahwa tidak mungkin Tuhan mempertemukan kita dengan seseorang tanpa suatu alasan. Everything must be a reason. Mungkin kali ini aku tidak yakin akan menemui orang yang sepertimu lagi. Aku tidak pernah menduga sebelumnya, bahwa ternyata pertemuan singkat yang telah digariskan ini, membuatku mengingatmu dalam waktu yang lama.

Yang jelas, aku merasa beruntung bisa bertemu dan mengenalnya. Dia, manusia pemilik senyuman tulus— yang bahkan senyumnya masih teringat dengan sangat jelas di kepalaku, pemilik suara dengan tone rendah yang menenangkan, dan pemilik banyak kelakuan menyenangkan lainnya. The butterfly effect he gave, semua yang berhubungan dengan dia rasanya sangat menyenangkan. And suddenly, every song was about you. I found you in every song I listen to. Meskipun tidak selamanya, aku senang bisa menyayangimu dengan segala kenangan kita. Aku juga sudah cukup senang bisa melewati setiap detik di hari yang ku lewati bersamanya.

“Halo. Iya, kamu, sini coba.”

Aku sedikit terkejut. Memastikan bahwa tidak ada orang lain dan memang akulah orang yang dipanggil olehnya. Sedikit merasa janggal karena aku masih tergolong orang baru disitu. Ada apa? Kenapa aku?

“Eh, oke, mas.”

Ia menjelaskan singkat situasi yang terjadi dan beberapa hal yang dibutuhkan. Rupanya ia membutuhkan bantuan untuk memback-up suatu kegiatan project. Setelah aku cukup memahami apa yang harus ku lakukan,

“Mau dikirim lewat apa?”

Aku terkaget, dia menunggu jawabanku.

“Oh, kalau chat aja gimana, mas?”

“Oke, kosong delapan satu…”, dia menyebutkan dua belas digit nomor teleponnya. Aku segera menambahkan kontak atas nama…

“Atas nama?”, tanyaku.

“Arva.”, ia menjawab cepat. Dengan sedikit rasa gugup aku segera mengetikkan nama Mas Arva Kantor di dalam ponselku. Sebentar, mengapa aku merasa gugup?

“Sudah aku chat ya, mas.”

“Oke, filenya sudah ku kirim, nanti teknisnya begini, ya.” Ia menjelaskan beberapa hal yang harus aku lakukan saat itu.

“Eh, iya. Ini nama panggilannya siapa?”

“Eh, emm, Anaya, mas.”

Itulah interaksi pertama kami. Setelah kejadian itu, tak banyak hal yang kami bincangkan selain urusan pekerjaan. Banyak hal yang berubah saat itu. Saat aku harus pindah kota, merasakan adaptasi, serta menghandle pekerjaan baru di lingkungan yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Aku menghembuskan nafas perlahan, terlalu banyak yang berubah dalam hidupku di satu bulan terakhir ini. Tak apa lah, pikirku. Lagi pula aku sudah cukup sering berdamai dengan lingkungan baru. Pasti juga bakal gitu-gitu aja, tak akan ada yang spesial, seperti yang sudah-sudah.

*****

“Bu Eli minta reschedule presentasi project dari divisimu, bisa?”

Notifikasi itu muncul saat aku dan teman-teman divisiku sedang terjun di lapangan. Sebentar, aku menahan jariku untuk membalas pesan yang tiba-tiba masuk itu untuk sementara waktu. Sedikit lupa sampai saat aku memeriksanya kembali, pesan itu sudah terkirim ke ponselku setengah jam yang lalu, gila!

“Sebentar, mas. Aku obrolin sama temen-temen dulu, ya.” Aku mengetiknya dengan cepat.

Setelah beberapa menit melakukan diskusi singkat, kesepakatan itu diambil.

“Mas, ini temen-temen oke buat tiga hari lagi. Kira-kira bisa ga, ya, mas?”

“Oke, bisa. Tiga hari lagi, jam 9, ya. Aku masukin ke schedule.”

“Oke, mas. Thank you, ya.”

Tiga hari itu tiba-tiba sudah di depan mata. Aku melakukan re-checking beberapa file, sedikit briefing, dan beberapa hal lainnya.

“Perwakilan presentasi nanti siapa?”, aku sedikit terkejut dan menoleh.

“Gimana, mas?”

“Kedepan sekarang aja, Bu Eli udah dateng.”

Pagi itu aku pilek, suasana tempat baru ini masih sedikit aneh untuk tubuhku. Bukan aneh, lebih tepatnya tubuhku masih pada proses adaptasi. Pilek, hal yang mungkin bagi sebagian orang sangat sepele. Tapi pagi itu tidak. Aku yang harus melakukan presentasi beberapa kali tersendat karena itu. Memalukan saja, batinku. Beberapa kali aku memeriksa sekeliling, ini ada yang notice aku pilek, ngga, ya? Tentu saja aku malu. Perkara sederhana tapi entah kenapa pagi itu aku merasa sangat malu jika sedang pilek. Sampai pada saat mataku melihatnya, aku tersenyum dan sedikit terkekeh. Dia pun membalas dengan senyum.

“Hehe, pilek.”, mulutku berbicara tanpa mengeluarkan suara.

Beberapa kali mataku dan matanya saling beradu pandang. Sedikit malu aku tersenyum dengannya mengingat pilekku beberapa saat yang lalu. Ia masih tetap sama, lagi dan lagi hanya menatapku dan membalas dengan satu senyuman lebar.

Kali ini aku memulainya lagi. Perjalanan dan tantangan di tempat baru memang seringkali menyebalkan. Ada banyak sekali tuntutan dan ekspektasi yang dibawa kemana-mana, dimana saja. Rasanya seperti ingin marah, lelah, kesal, semuanya bercampur menjadi satu. Kali ini, aku menghembuskan nafas lebih berat. Aku tahu, mengeluh memang tidak akan mengubah apapun. Tapi setidaknya, beban yang aku rasakan sedikit menguap. Alasan klise yang selalu menjadi kalimat pembelaan yang aku miliki. Semenakjubkan apapun, hidup memang harus diimbangi dengan mengeluh.

*****

“Makan siang sama aku, mau, ya? Ada mie ayam enak di deket kantor.”

Pesan tiba-tiba itu masuk ke ponselku. Aku sedikit bergeming. Baiklah, kebetulan aku juga sedang ingin makan mie ayam.

            “Oke, mas. Jam istirahat nanti, kan?”

Sudah beberapa kali ia mengajakku keluar. Untuk makan, untuk minum teh, atau hanya sekedar ingin berkeliling. Semua rentetan kejadian dan kebetulan itu berlalu begitu cepat. Namun, satu hal yang aku tahu, semua kebetulan yang terjadi ini terasa sangat menyenangkan. Serendipity— kebetulan yang menyenangkan. Kata ini mungkin adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan segala hal yang akhir-akhir ini terjadi.

“Kamu sama Arva lagi deket, ya?”

Beberapa hari yang lalu ada salah satu seniorku yang menanyakan kedekatan kami. Sedikit terkejut, karena aku juga belum terlalu paham dengan culture kedekatan secara personal di tempat kerja baruku ini.

“Eh, kenapa mba?”

“Ga ada apa-apa, sih. Cuman ngga biasanya aku liat Arva kayak gitu.”

“Eh, emang biasanya gimana, mba?”

“Nay, seorang Bhakati Arva itu kalo sama orang baru biasanya lumayan judes, bahkan lebih ke sinis. Biasanya dia bodoamat sama orang, apalagi sama anak baru. Tapi beberapa kali aku notice dia nurunin tone bicaranya pas kalian ngobrol. Tiba-tiba dia jadi semangat ngurusin ini itu, jadi sering ikut nemenin lembur, bahkan dia lebih sering senyum kalo ngobrol sama kamu. Makanya aku bisa nanyain ini ke kamu.”

“Hehe, mungkin akhir-akhir ini mas Arva lagi mood aja kali, mba.”

“Hish. Gapapa, nay, gausah malu. Lagian Arva juga orang baik kok. Aku ke depan dulu, ya.”

*****


Bersambung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

apa kau tahu?

slice of life #2

my first step is in here