merayakan kehilangan

Seorang gadis duduk sendirian di sudut kafe. Gadis yang sama dengan gadis yang selalu datang di kafe ini, dua bulan terakhir. Dengan bangku yang sama, di pojok sebelah kanan. Juga dengan pesanan yang selalu sama di depannya, es krim coklat dengan sedikit perisa mint porsi sedang.

Mungkin bagi sebagian orang itu akan menjadi pilihan yang aneh, atau bahkan tidak cocok. Apalagi sebagai santapan saat bulan dengan musim seperti ini. Ia memandang jauh keluar, menerawang kaca di sebelahnya. Langit mendung menjadi teman gadis bermata teduh itu.

Aku menyeduh kopi untuk pelanggan yang baru saja datang sambil terus menatap mata gadis itu. Ada sesuatu di matanya. Tatapannya terlihat sangat kosong, tetapi juga sangat teduh, seperti sejak pertama kali ia kemari. Setidaknya itulah yang sejauh ini Rinan perhatikan. Sebenarnya aku sangat Ingin untuk mendekat dan bertanya, apakah ia sedang menunggu seseorang? Atau malah menunggu sesuatu?

|°•°•°|

Hari ini hari Sabtu, 15 Maret. Hari dimana gadis bermata teduh itu selalu datang kemari, dua bulan terakhir. Ia datang setiap hari Rabu dan hari Sabtu. Entah apa alasannya, tapi ia selalu datang pada hari itu, pukul tujuh. Ia datang dengan wajah yang selalu sulit ku artikan, memesan es krim coklat, untuk kemudian menikmatinya sambil sesekali memandang keluar. Setelahnya, ia akan pulang dengan wajah yang sedikit lebih cerah. Begitu terus yang terjadi ketika ia datang kemari. Gadis itu, ah ya, siapa namanya? Selama ini ia menyelipkan pesanan atas nama pemesan: Rumit. Baiklah, mungkin aku bisa menyebutnya dengan gadis rumit.

"Kenapa gak disamperin aja?" Sebuah suara membuatku sedikit terlonjak dan menoleh.

"Hah? Gimana, Gus?" jawabku gelagapan. 

"Gadis itu, kamu penasaran, kan? Udah buruan sana samperin, kesempatan ga datang dua kali, Nan." Ternyata itu suara Bagus, satu dari empat kawanku disini.

Bagus berkata dengan tenang dan mantap, seolah meyakinkanku agar tak kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Kesempatan. Ah, iya, sesuatu yang sangat berharga itu bernama kesempatan.

"Udah, gak usah kelamaan dipikir. Kalau cuman dipikir terus tapi gak dilakuin, ya gak bakal ada habisnya, Nan. Samperin, ngobrol, selesai. Trust me, habis itu kamu pasti lega."

Aku masih diam dan tetap memandang gadis rumit di sudut kafe itu. 

"Gak usah dipikir nantinya bakal kayak gimana, Nan. Lebih baik menyesal karena kamu udah ngelakuin sesuatu, daripada menyesal karena sesuatu itu belum sempet kamu lakuin." Imbuh Bagus meyakinkan. 

"Gus, coba kamu lihat matanya. Banyak yang gak bisa ku tafsirkan. Aku memang ingin, tapi aku nggak bisa, Gus. Aku terlalu takut. Mungkin dia memang sedang butuh waktu buat sendiri." 

Aku kembali memandang gadis itu. Kini wajahnya terlihat sedikit lebih berwarna jika dibandingkan saat ia memasuki kafe tadi.

Gadis itu pun beranjak pelan dari kursinya. Sedikit ku lirik, ohh, es krimnya sudah habis. Seolah mengerti jika terus ku pandangi, ia balas menatap dalam mataku. Seolah mempersilahkanku untuk membaca semua perasaan dan beban yang ia alami. Ia terus berjalan dari mejanya menuju ke arahku. Tepat didepanku, ia tersenyum tipis.

"Terima kasih, es krimnya enak. Seperti sudah menjadi pesanan wajib, ya, ternyata." Ia tersenyum. Aku masih setengah sadar menatapnya.

Ia berkata lembut dengan penuh keceriaan, seperti seketika melepaskan beban yang telah lama ia pendam. Baru satu langkah ia beranjak, namun kemudian,

"Oh, iya. Terima kasih juga untuk tempatnya 2 bulan ini. Aku sedang merayakan kehilangan."


Komentar

Postingan populer dari blog ini

apa kau tahu?

slice of life #2

my first step is in here